Sabtu, 03 November 2012

Menikahi Perempuan Hamil


1. Bagaimana hukum menikahkan perempuan yang sedang hamil?
2. Bolehkah perempuan hamil tersebut dikumpuli (dijimak) setelah melangsungkan akad nikah?
3. Bagaimanakah status anak yang dilahirkan itu (waris)?
4. Bila anak yang dilahirkan itu perempuan siapa wali nikahnya?

Jawaban Hukum Menikahi Perempuan Hamil

1. Hukum menikahi perempuan hamil diperinci sebagai berikut :
a. Jika perempuan tersebut hamil dari hubungan di luar nikah (zina), maka pernikahannya sah namun makruh.
b. Jika hamil dari pernikahan yang sah seperti dari suami sebelumnya yang meninggal dunia atau mentalaknya dalam keadaan hamil, maka tidak sah karena masih dalam masa iddah.
2. Suami tetap boleh untuk melakukan hubungan suami-istri dengannya setelah melangsungkan akad.
3. Status anak yang dilahirkan diperinci sebagai berikut :
a. Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan
1. Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).
2. Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.
b. Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.
Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki ataupun perempuan.
4. Berarti bapak sebagai wali dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika tidak diakui nasabnya.
Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.
CATATAN : perempuan hamil di luar nikah jika dinikahkan dengan laki-laki yang berhubungan badan dengannya atau yang lainnya dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi ayah dari anak dalam kandungan, maka haram hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur dimakam islam) karena adanya penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah, mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan dzawil furudh (punya nasab waris), menjadi wali nikah jika yang lahir perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’ dst.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar